STRATEGI INDONESIA MENGHADAPI ESKALASI HARGA PANGAN DUNIA

Main Article Content

Bustanul Arifin

Abstract

Dunia saat ini, para analis hampir sepakat bahwa era harga pangan murah sudah lewat, karena sejak tahun 2005 harga pangan berbasis biji-bijian mulai menunjukkan trend peningkatan. Sejarah ekonomi pangan berbasis biji-bijian memang diwamai oleh penurunan harga riil secara signifikan selama 100 tahun terakhir, sehingga nyaris semua kebijakan seakan terperangkap untuk menghasilkan pangan murah. Trend penurunan harga riil tidak terjadi sejak tahun 2005, yang akhirnya semakin nyata terlihat sejak tahun 2007 yang lalu. Implikasi penting dari titik balik ekonomi pangan iniadalah betapa strategis dan pentingnya sektor pangan dan pertanian bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Apabila negara-negara ini (tepatnya, pelaku ekonomi skala besar di Amerika Serikat dan Rusia) menahan produksi untuk tidak dilempar ke pasar dunia, maka harga keseimbangan akan bergolak. Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat semakin kuatlah proposisi yang menyebutkan bahwa pola kenaikan harga komoditas pangan (dan pertanian) yang berkait erat dengan peningkatan harga minyak dunia ini telah membentuk pola.Tidak mustahil untuk disimpulkan bahwa tahun 2008 ini adalah titik balik ekonomi pangan karena pola eskalasi harga pangan telah menciptakan keseimbangan baru perdagangan dunia. Jika Bulog tidak main-main, sulit bagi spekulan swasta untuk menandingi kemampuannya mengelola beras, terutama karena kelengkapan infrastruktur dan sumberdaya manusia (SDM) sampai ke kota kabupaten. Manajemen logistik pangan pokok ala Perum Bulog sedang ditiru oleh Thailand, Filipina, Malaysia dan India. Bahwa komoditas pangan adalah primadona investasi saat ini dan beberapa tahun ke depan jelas tidak diragukan lagi. Sesuatu yang harus diperhatikan adalah bahwa komoditas pangan (dan pertanian). Tidak harus ditulis lagi, betapa besar dampak perubahan "politik global" ekonomi pangan berbasis biji-bijian tersebut bagi Indonesia, jika para perumus kebijakan di negeri ini tidak serius meningkatkan produksi dan produktivitas pangan di dalam negeri. Mungkin tidak pada tempatnya apabila saat ini, energi bangsa banyak dihabiskan hanya untuk berdebat sesuatu yang tidak terlalu produktif, misalnya tentang perubahan status Perum Bulog menjadi lembaga pemerintah non-departemen (LPND) seperti masa lalu. Pola
pikir ad-hoc seperti itu tidak akan mampu menjawab tantangan perubahan ekonomi pangan berbasis biji-bijian ke depan, apalagi jika terdapat agenda lain yang bersifat elitis. Masyarakat hanya menuntut keseriusan para elit untuk melalukan pemihakan kepada 25 juta rumah tangga petani sebagai stakeholders terbesar sektor ini. Sejarah bangsa-bangsa besar di dunia memulai pembangunan ekonominya dengan landasan pembangunan pertanian yang tangguh. Tidak mungkin melakukan lompatan besar (leap frogging) kebijakan yang tiba-tiba mampu mengangkat rakyat dari kemiskinan jika tidak ada terobosan dalam sektor pangan dan pertanian.

Article Details

Section
Articles
Author Biography

Bustanul Arifin

Universitas Lampung (UNILA